Assalamualaikum
wr.wb
Pertama saya akan
menjelaskan mengenai Hablum minnallah dan Hablum minnanas yaitu Kalau
dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan dengan Allah dan
hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan tetapi dalam pengertian
istilah syari'ah maknanya adalah sebagai berikut:
1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).
2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at Allah Ta'ala.
Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).
2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at Allah Ta'ala.
Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
Mengenai hal ini
juga terdapat dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada HABLUM MINALLAH WA HABLUM MINANNAS
Islam memiliki ajaran yang membentangkan dua
bentuk hubungan yang harmonis
1. Tata hubungan yang mengatur antara
manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah (ubudiyah) atau yang populer dikatakan
dengan hablum minallah
2. Tata hubungan yang mengatur antara
manusia dengan makhluk yang lainnya dalam wujud amaliyah sosial
Dalam Al-Qur'an surat Ali Imron: 112 Allah swt
berfirman
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللَّهِ
وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُواْ
يَعْتَدُونَ
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian)
dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka
diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas."
Ayat ini memberikan kepada kita tentang
malapetaka yang telah menimpa Bani Israil sebagai akibat kedurhakaan mereka
kepada Allah dan kepada para nabi. Sehingga mereka harus mengalami
malapetaka, kehinaan, kemiskinan, dan kemurkaan dari Allah. Dan dalam ayat
tersebut diberitakan pula bahwa jalan keluar dari segala malapetaka tersebut
adalah membangun kembali hablum minallah dan hablum minannas.
Hablum minallah menurut bahasa berarti hubungan
dengan Allah. Namun dalam pengertian syariah makna hablum minallah sebagaimana
yang dijelaskan di dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan tafsir Ibnu Katsir
adalah "Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam atau
beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan di
akhirat" Sehingga dapat kita pahami bahwa untuk membangun
hubungan kita kepada Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak
Allah, dan apakah hak-hak Allah itu? Hak-hak Allah ialah mentauhidkan dan tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain serta menjalankan syariat Allah. Misalnya:
sholat, puasa dan sebagainya.
Namun apakah cukup hanya dengan hablum minallah
saja, sedangkan di sisi yang lain kita mengabaikan hablum minannas? Tentu tidak
cukup, mengingat kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan
orang lain. Di dalam Al-Quran juga banyak ayat-ayat yang menyebutkan tentang
perintah mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan hablum minannallah
namun diiringi juga dengan hablum minannas, antara lain.
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir (19), Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20), Dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21), Kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat (22), Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya (23), Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu (24), Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)"
Dalam ayat tersebut secara tegas Allah menyebutkan
bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak dia
diciptakan. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh
kesah? Sebaliknya, kalau kita memiliki banyak harta kita sering lebih cenderung
untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan kita tersebut dapat kita
hindari? Allah menyebutkan paling tidak ada dua jalan, pertama, mengerjakan
sembahyang (hablum minallah) secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam
harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin (hablum
minannas).
Di dalam Al-Quran Allah berfirman di dalam surat an-nisa ayat
36 yang berbunyi
وَاعْبُدُواْ
اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
"Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri"
Ayat tersebut mengandung dua bentuk akhlak, yaitu
akhlak kepada Allah (hablum minallah) yang ditunjukkan dengan perintah agar
kita menjalin hubungan baik kepada Allah dengan cara tidak menyekutukan-Nya
dengan yang lain. Dan akhlak terhadap sesama manusia (hablum minannas) yang
ditunjukkan dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang yang dalam perjalanan dan hamba sahaya.
Selanjutnya Allah menutup ayat di atas dengan
kalimat: " Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri". Dengan maksud agar kita tidak
sombong kepada orang tua, karena ada saat dimana kita juga pasti akan menjadi
tua. Jangan sombong kepada anak-anak yatim karena ada saat kita juga akan
menjadi yatim. Jangan sombong kepada orang miskin karena ada saat kita juga
akan menjadi miskin secara tiba-tiba. Jangan sombong kepada tetangga karena
merekalah orang yang pertama memberikan pertolongan kepada kita saat kita
mengalami kesulitan. Jangan sombong kepada teman karena kita sangat
membutuhkannya. Jangan sombong kepada musaffir karena ada saat dimana kitapun
akan menjadi musafir dan jangan sombong kepada pembantu rumah tangga karena
mereka besar bantuannya kepada kita meskipun tidak besar upah yang kita
berikan.
Dalam surat Al-Ma'un ayat 1-7 Allah berfirman:
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1),
Itulah orang yang menghardik anak yatim(2), Dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin (3). Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4),
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5), Orang-orang yang berbuat
riya (6), Dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7)"
Dalam surat tersebut, Allah SWT demikian lugas
mengaitkan antara agama dengan keberpihakan kepada kaum dhuafa. Seseorang
dikategorikan mendustakan agama manakala ia mengabaikan anak yatim dan orang
miskin.
Di awal surat Al-Ma’un tersebut Allah menggunakan
pertanyaan, tapi bukan berarti Allah bertanya karena tidak tahu. Menurut para
mufassir hal itu dimaksudkan untuk menggugah hati pendengarnya agar memberikan
perhatian lebih kepada ayat selanjutnya.
Jadi di sini Islam mendorong umatnya agar dalam
beragama tidak selalu mementingkan aspek ibadah mahdhoh saja, akan tetapi Islam
juga menganjurkan ibadah sosial, seperti memperhatikan nasib-nasib orang lemah.
Bahkan kalau kita cermati 5 rukun Islam itu adalah merupakan gabungan antara
habluminallah dan hablum minannas, gabungan antara hubungan vertikal dan
horizontal.
Dimulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat
yang merupakan pertalian antara seorang hamba dengan Allah, namun pengakuan dan
kesaksian tersebut tidaklah cukup tanpa terus menerus menjaga hubungan baik
dengan Allah, yaitu dengan melaksanakan shalat sebagai rukun Islam yang kedua.
Shalat yang secara simbolis gerak-geriknya mencerminkan kepasrahan kita kepada
Allah. Kemudian ketaatan tesebut dibuktikan dengan mengerjakan amaliah sosial
yaitu zakat sebagai rukun Islam ke-3. Kemudian dalam rukun Islam yang ke4 yaitu
puasa, kita dilarang makan dan minum sebagai pelajaran bagi kita untuk dapat
merasakan bagaimana rasanya ketika seseorang tidak bisa makan dan minum.
Dalam sebuah hadits qudsi dikatakan bahwa pada
hari kiamat nanti Allah akan berfirman,
"Wahai anak Adam,…Aku meminta makan kepadamu
tapi engkau tidak memberiku makan." Si hamba bertanya, "wahai
Tuhanku….bagaimana mungkin aku member-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan
semesta alam?" Allah berfirman, "tidakkah kau tahu bahwa hamba-Ku si
fulan meminta makan kepadamu tapi engkau tiada memberinya makan? Tidakkah
engkau tahu bahwa jika engkau memberinya makan, niscaya engkau akan menemukan
itu disisi-Ku.
"Wahai anak Adam,… Aku meminta minum
kepadamu tapi engkau tidak member-Ku minum." si hamba menjawab,
"wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku member-Mu minum sedangkan Engkau
adalah Tuhan semesta alam." Allah berfirman, "hamba-Ku si fulan
meminta minum kepadamu tapi engkau tiada memberinya minum. Padahal jika engkau
memberinya minum niscaya akan kau dapati itu disisi-Ku".
Hadits tersebut secara tidak langsung
memerintahkan kita untuk peka terhadap fenomena sosial. Apakah kita sudah
memperhatikan orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita baik berupa
makanan, minuman, dll ataukah kita termasuk orang yang terlena dengan gemerlap
dunia sehingga melupakan hal itu? Amat banyak kehidupan orang lain di sekitar
kita yang tidak memiliki kehidupan seberuntung kita. Seburuk apapun kondisi
kita saat ini, pasti masih ada saja yang lebih buruk dibandingkan dengan
kehidupan kita sekarang. Kita lihat sekarang saudara-saudara kita yang ada di
Palestina sana, mereka sedang membutuhkan bantuan kemanusiaan dari seluruh
ummat Islam dunia, tak terkecuali bantuan kita ummat Islam indonesia. Cukupklah
ayat-ayat dan hadits tersebut sebagai penggugah hati kita untuk peduli terhadap
saudara-saudara kita yang sedang membutuhkan bantuan kita.
بَارَكَاللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَ الذِكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ
مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَا وَتَهُ إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
mengenai hal yang telah dijelaskan pada bacaan pertama
dikehidupan sehari-hari dan sekarang saya akan
memberikan sedikit pengetahuan saya bahwa terdapat 3 wasiat Nabi dalam
Hablumminaalah dan Hablumminanas.
Pernahkah
mendengar istilah Jawami’ul Kalim? Istilah tersebut
memiliki makna: bahasa yang singkat, namun memiliki makna yang luas dan
sangat mendalam. Hal inilah yang sering dijumpai dalam sabda Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berikut ini merupakan salah satu
hadits yang Jawami’ul Kalim,
عَنْ أَبِي ذَرّ
جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا،
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ ” [رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ
حسن صحيح]
“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau
berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan
menghapuskan (keburukan). Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang mulia.”
(HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih).
Hadits di atas mengandung 3 wasiat Nabi yang
sangat penting, yakni wasiat tentang hubungan secara vertikal manusia kepada
Allah (habluminallah) dan hubungan secara horizontal sesama manusia (habluminannas).
1. Perintah Bertakwa
kepada Allah Dimanapun Berada
اِتَّقِ اللهَ
حَيْثُمَا كُنْتَ
Takwa yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengenal tempat. Bertakwalah di mana pun
berada, baik saat sunyi sendirian terlebih lagi ketika berada di tengah
keramaian. Inilah sebenar-benarnya takwa dan merupakan takwa yang paling berat.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
وقال الشافعي : أعزُّ الأشياء
ثلاثة : الجودُ من قِلَّة ، والورعُ في خَلوة ، وكلمةُ الحقِّ عند من يُرجى ويُخاف
“Perkara yang paling berat itu ada 3, dermawan
saat memiliki sedikit harta, meninggalkan hal yang haram saat sendirian dan
mengatakan kebenaran saat berada di dekat orang yang diharapkan kebaikannya
atau ditakuti kejahatannya” (Jami’ Ulum wa Hikam 2/18).
Dalam kesendirian atau ketika menyepi tanpa
ada seorang pun yang mengetahui, maka dorongan untuk berbuat maksiat akan
semakin besar. Namun apabila ia benar-benar bertakwa kepada Allah, maka hal
demikin tidak akan terjadi. Karena ia sadar betul bahwa Allah senantiasa
mengawasinya setiap saat.
Misalnya
yaitu orang yang sedang berpuasa. Ketika berada di tengah keramaian, ia menahan diri, mengaku
berpuasa dan berakting seolah sedang berpuasa.
Namun ketika sedang sendiri, ia diam-diam berpuka puasa. Hal ini tidak
akan terjadi jika memiliki rasa takut kepada Allah.
2. Tidak
Menunda Melakukan Amal Sholeh
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَ
Dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berwasiat agar bersegera melakukan kebaikan tatkala
terjerumus dalam keburukan. Jangan beranggapan ‘jika sudah terciprat, maka
tercebur sekalian saja biar basah’. Ini merupakan anggapan yang sangat keliru.
Bahkan hadits ini menjelaskan perintah untuk segera bertaubat kepada Allah.
Karena taubat merupakan amal shalih yang paling mulia dan harus disegerakan
pengerjaannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah,
wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Hadits di atas juga menjelaskan bahwa dosa
atas perbuatan buruk kita dapat terhapus dengan melakukan perbuatan baik. Namun
dosa yang terhapus hanyalah dosa-dosa kecil saja, karena dosa besar hanya
terhapus jika pelakunya benar-benar telah bertaubat atau taubat nasuha.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ
وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضاَنُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا
بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat 5 waktu, dari Jumat ke Jumat
selanjutnya, serta Ramadhan ke Ramadhan adalah sebagai penghapus dosa di antara
waktu itu, selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233).
Karena hanya dosa kecil saja yang terhapuskan
oleh perbuatan baik, maka ketika seseorang terjerumus dalam dosa dan maksiat
wajib baginya untuk segera bertaubat, melakukan amal shalih dan berusaha untuk
tidak mengulangi perbuatannya tersebut.
3. Memiliki Akhlak Mulia
وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Wasiat yang terakhir yaitu perintah untuk
memiliki akhlak yang mulia dalam hubungan sesama manusia. Contoh yang paling
mudah dalam berakhlak mulia yaitu senyuman yang diiringi wajah yang berseri
ketika bertemu dengan orang lain dan bertegur sapa.
Oleh karenanya Rasulullah mengkaitkan antara
akhlak mulia dengan iman yang sempurna. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling bagus akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2612, ia berkata: Hadits
Shahih).
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa
pada hari kiamat orang yang paling dekat dengan Rasulullah yaitu yang paling
bagus akhlaknya. Tidak hanya itu, dengan memiliki akhlak mulia, maka akan
dicintai oleh manusia yang lainnya terlebih Rasulullah.
Sekian,itulah
sedikit materi dari saya mengenai Hablumminallah dan Hablumminnanas,semoga
dalam bacaan bisa dipetik,diambil dalam sisi baiknya dan jika ada kesalahan
dalam perkataan maupun tulisan mohon maaf. Terima Kasih..
Wassalamualaiakum
wr.wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar