Jumat, 07 Oktober 2016

SUNNATULLAH

Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabbyang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks kemasyarakatan.

Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak dapat dialihkan dan diubah oleh siapapun. Sunnatullah ini sudah berlaku pada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi.

Ada tiga sifat utama sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah : 1) Pasti,  2) Tetap, dan  3) Objektif


Sifat sunnatullah pertama adalah ketetapan, ketentuan, atau kepastian, sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an berikut ini :



Q.S, Al-Furqon (25): 2, yang artinya :



“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”



Q.S At-Thalaq (65) : 3 yang artinya :



Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu”



Sifat sunnatullah yang pasti, tentu akan menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana. Seseorang yang memanfaatkan sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan yang besar, tidak perlu ragu akan ketetapan perhitungannya dan setiap orang yang mengikuti dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu bisa melihat hasil pekerjaan yang dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan (usaha atau amal) dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya suatu rencana atau pekerjaan orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannya yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalam sunnatullah. Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau perencanaan dengan mudah dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam perencanaannya.



Sifat sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah.



Sifat ini diungkapkan dalam Al-Quran sebagai berikut :



Q.S  Al-Isro (17): 77, yang artinya :



“Dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”. Sifat itu selalu terbukti dalam praktek, sehingga seseorang perencana dapat menghindari kerugian yang mungkin terjadi kalau rencana dilaksanankan. Dengan sifat sunnatullah yang tidak berubah-ubah itu seorang ilmuan dapat memperkirakan gejala alam yang terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu. Karena itu seorang ilmuan dengan mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam yang lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten.



Sifat sunnatullah yang ketiga adalah obyektif. Sifat ini tergambar pada firman Allah sebagai berikut :



Q.S. Al-Anbiya (21): 105, yang artinya :



bahwasanya dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”



Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya :



Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada oleh mereka sendiri”.



Saleh, artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah “orang yang bekerja menurut sunnatullah”. Jadi sunnatullah-lah yang menjadi ukuran kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau menurut sunnatullah adalah orang yang “saleh“ atau orang yang baik dan benar. Kesalehan yang dikarenakan telah menepati sunnatullah merupakan kesalehan umum (universal). Kesalehan universal ini sebagai sifat objektif secara / keilmuan, yang biasanya sangat signifikan dijumpai dikalangan para pengembang IPTEK dan para intelektual lainnya. Mereka amat disiplin untuk mengikuti logika cerdas dan sehat dibantu dengan upaya pembuktiaan hipotesis yaitu penelitian (istiqra). Dengan demikian kebenaran yang terdapat dalam sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Untuk memperoleh predikat manusia saleh sekedar mentaati sunnatullah, berlaku pada semua manusia tidak terbatas bagi kaum agamis semata sebab, bagi yang tidak berkarya sebagaimana menurut keharusan aturan-aturan sunnatullah, seperti pemalas, tidak menempati prinsip kerja yang efektif-efisien-produktif dan lain-lain, tidak akan mendapat keberuntungan.



Dengan demikian sunnatullah itu berlaku objektif, karena tidak dipandang saleh bagi orang islam (misalnya) yang ingin kaya tapi pemalas. Karena orang islam tersebut tidak saleh terhadap sunnatullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar