Sunnatullah berarti tradisi Allah
dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai
Rabbyang
terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan
Allah. Sunnah artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah
kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah. Kata sunnatullah dan yang
sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas
kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut
berbicara dalam konteks kemasyarakatan.
Sunnatullah atau disebut juga
dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah
menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak dapat dialihkan dan diubah oleh
siapapun. Sunnatullah ini sudah berlaku pada umat-umat sebelum umat Nabi
Muhammad SAW dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi.
Ada tiga sifat utama
sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu
pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah :
1) Pasti, 2) Tetap, dan 3) Objektif
Sifat sunnatullah pertama adalah ketetapan,
ketentuan, atau kepastian, sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an berikut ini :
Q.S, Al-Furqon (25): 2, yang
artinya :
“Dan dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Q.S At-Thalaq (65) : 3 yang
artinya :
“Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu”
Sifat sunnatullah yang pasti,
tentu akan menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana.
Seseorang yang memanfaatkan sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan yang
besar, tidak perlu ragu akan ketetapan perhitungannya dan setiap orang yang
mengikuti dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu bisa melihat
hasil pekerjaan yang dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu
pekerjaan (usaha atau amal) dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya
suatu rencana atau pekerjaan orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat
dipastikan perhitungannya yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang
terdapat dalam sunnatullah. Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau
perencanaan dengan mudah dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam
perencanaannya.
Sifat sunnatullah
kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah.
Sifat ini diungkapkan dalam
Al-Quran sebagai berikut :
Q.S Al-Isro (17): 77,
yang artinya :
“Dan tidak akan kamu dapati
perubahan bagi ketetapan Kami itu”. Sifat itu selalu terbukti dalam
praktek, sehingga seseorang perencana dapat menghindari kerugian yang mungkin
terjadi kalau rencana dilaksanankan. Dengan sifat sunnatullah yang tidak
berubah-ubah itu seorang ilmuan dapat memperkirakan gejala alam yang terjadi
dan memanfaatkan gejala alam itu. Karena itu seorang ilmuan dengan mudah
memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam yang lain yang
senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten.
Sifat sunnatullah yang ketiga adalah obyektif. Sifat
ini tergambar pada firman Allah sebagai berikut :
Q.S. Al-Anbiya (21): 105, yang
artinya :
“bahwasanya dunia akan
diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”
Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya
:
“Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada oleh
mereka sendiri”.
Saleh, artinya baik atau benar.
Orang yang baik dan benar adalah “orang yang bekerja menurut sunnatullah”. Jadi
sunnatullah-lah yang menjadi ukuran kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang
berkarya sesuai atau menurut sunnatullah adalah orang yang “saleh“ atau orang
yang baik dan benar. Kesalehan yang dikarenakan telah menepati sunnatullah
merupakan kesalehan umum (universal). Kesalehan universal ini sebagai sifat
objektif secara / keilmuan, yang biasanya sangat signifikan dijumpai dikalangan
para pengembang IPTEK dan para intelektual lainnya. Mereka amat disiplin untuk
mengikuti logika cerdas dan sehat dibantu dengan upaya pembuktiaan hipotesis
yaitu penelitian (istiqra). Dengan demikian kebenaran yang terdapat dalam
sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja.
Untuk memperoleh predikat manusia saleh sekedar mentaati sunnatullah, berlaku
pada semua manusia tidak terbatas bagi kaum agamis semata sebab, bagi yang
tidak berkarya sebagaimana menurut keharusan aturan-aturan sunnatullah, seperti
pemalas, tidak menempati prinsip kerja yang efektif-efisien-produktif dan lain-lain,
tidak akan mendapat keberuntungan.
Dengan demikian sunnatullah itu
berlaku objektif, karena tidak dipandang saleh bagi orang islam (misalnya) yang
ingin kaya tapi pemalas. Karena orang islam tersebut tidak saleh terhadap
sunnatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar