Minggu, 16 Oktober 2016

MANUSIA MAKHLUK SOSIAL

Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain (bahkan kalaupun merupakan hasil cloning), dengan fikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok – dalam bentuknya yang minimal – yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal – kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya
Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan  Kepandaian yang berbeda-bedapula
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Kebutuhan untuk berkelompok ini merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan – bahkan pada manusia purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan ikatan agama. Dalam kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al Hujurat:10)
Juga di dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi.
Dari dalil naqli di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesama muslim dan juga sesama mu’min adalah bersaudara, di mana tentunya kesadaran terhadap hal ini akan memberikan konsekuensi berikutnya.
Penyebutan secara eksplisit adanya persaudaraan antar sesama muslim (dan mu’min) di dalam Al Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebuah komunitas (bisa berbentuk negara) hanya akan eksis dengan adanya kesatuan dan dukungan elemen-elemennya. Sedang kesatuan dan dukungan ini tidak akan lahir tanpa adanya rasa saling bersaudara dan mencintai. Namun persaudaraan inipun perlu didahului oleh suatu faktor pemersatu, berupa ideologi atau aqidah[.
Dalam rangka menjalin hubungan sosial dalam maknanya yang umum – ada beberapa tahapan konseptual yang perlu diperhatikan. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dibagi menjadi:
  1. Ta’aruf
Ta’aruf dapat diartikan sebagai saling mengenal. Dalam rangka mewujudkannya, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Dengan mengenali karakter-karakter tersebut,
Dalam Surat Al Hujurat, Allah berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat:13)
Ta’aruf ini perlu kita lakukan dari lingkungan yang terdekat dengan kita. Dengan keluarga, dengan lingkungan sekolah atau tempat bekerja, hingga berta’aruf dalam komunitas yang lebih luas,
Di era sekarang ini hal ini sudah hampir tidak diperhatikan apalagi masalah ta’aruf, diwilayah perkotaan, oran-orang sibuk memikirkan kepentingannya peribadi dan tidak memperdulikan lingkungan sekitarnya seperti yang bisa lihat di daerah perumahan (real estate) semua hidup dengan serba individulaistik.
  1. Tafahum
Pada tahap tafahum (saling memahami), kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung. Juga apabila kita mengetahui tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan memahaminya dengan kehati-hatian kita dalam bergaul dengannya.
Perlu diperhatikan bahwa tafahum ini merupakan aktivitas dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin difahami orang tanpa berusaha untuk juga memahami orang lain.
  1. Ta’awun
Ta’awun atau tolong-menolong merupakan aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan ‘iba’ dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan – sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan ini berbeda-beda untuk tiap individu.
Dalam surat Al Maidah, Allah berfirman:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al Maaidah:2)
Dalam hadits:
Artinya: “Dan Allah akan selalu siap menolong seorang hamba selama hamba itu selalu siap menolong saudaranya.”
Juga dalam hadits Ibnu Umar di atas (“al muslimu akhul muslimi …”), seterusnya disebutkan bahwa siapa yang memperhatikan kepentingan saudaranya itu maka Allah memperhatikan kepentingannya, dan siapa yang melapangkan satu kesulitan terhadap sesama muslim maka Allah akan melapangkan satu dari beberapa kesulitannya nanti pada hari qiyamat, dan barangsiapa yang meneyembunyikan rahasia seorang muslim maka Allah menyembunyikan rahasianya nanti pada hari qiyamat.
Dalil naqli di atas memberi encouragement bahkan perintah kepada orang beriman untuk tolong-menolong, yang dibatasi hanya dalam masalah kebajikan dan taqwa. Bentuk tolong-menolong ini bisa dilakukan dengan saling mendo’akan, saling menasihati, juga saling membantu dalam bentuk amal perbuatan.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, menolong orang yang dizalimi dapatlah aku mengerti. Namun, bagaimana dengan menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah menjawab, “Kamu cegah dia agar tidak berbuat aniaya, maka itulah pertolonganmu untuknya.”
Jadi kita seharusnya berterima kasih jika ada yang menegur kita, bahkan mencegah kita dengan kekuatan manakala kita sedang berbuat kesalahan.
  1. Takaful
Takaful ini akan melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta kita memberikan pertolongan. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan perumpamaan yang menarik tentang hal ini, yaitu dengan mengibaratkan orang beriman – yang bersaudara – sebagai satu tubuh.
Dalam hadits:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang beriman di dalam kecintaan, kasih sayang, dan hubungan kekerabatan mereka adalah bagaikan tubuh. Bila salah satu anggotanya mengaduh sakit maka sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.”
Unsur pokok di dalam bersosial adalah mahabbah (kecintaan), yang terbagi dalam beberapa tingkatan:
  • Tingkatan terendah adalah salamus shadr (bersihnya jiwa) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan/pertengkaran. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam. Juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw bersabda bahwa ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal pun, yaitu seorang yang mengimami suatu kaum sedangkan kaum itu membencinya, wanita yang diam semalam suntuk sedang suaminya marah kepadanya, dan dua saudara yang memutus hubungan di antara keduanya.
  • Tingkatan berikutnya adalah cinta. Di mana seorang muslim diharapkan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dalam hadits: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR muttafaq alaihi)
  • Tingkatan yang tertinggi adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai, sesuatu yang untuk zaman sekarang sering baru mencapai tahap wacana. Patut kita renungkan kisah sahabat nabi dalam sebuah peperangan, di mana dalam keadaan sekarat dan kehausan dia masih mendahulukan saudaranya yang lain untuk menerima air[.
Aktivitas-aktivitas sosial yang  memang merupakan seruan Islam harus dilaksanakan supaya kohevitas social terjaga  diantaranya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
Apa saja yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya:
- Menjaga hak-hak tetangga
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.
4. Saling menziarahi.
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluarga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyarah pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyarah kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
6 Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan, menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka tatanan sosial yang di cita-citakan oleh ilmuan-ilmuan sosial akan terujud.
Manusia harus manjalin tiga hubungan yang harmonis dengan tiga elimen didunia ini, diantaranya dengan tuhannya, manusia, dan alam. Alam akan terperlihara ketika manusia sadar bahwa dia membutuhkan alam untuk keberlangsungan hidupnya, terjadi ekploitasi terhadap alam dikarenakan manusia tidak beriman kepada tuhannya, padahal tuhan memberikan anugrah alam ini untuk di urus oleh manusia supaya seimbang dan tidak menimbulkan malapetaka bagi manusia sendiri, seperti dalah hadits nabi saw;
حد ثنا ابو بكر بن ابى شيبة ومسدد المعنى قالا حد ثنا سفيان عن عمرو عن ابى قا بوس مولى لعبد الله بن عمرو عن عبد الله بن عمرو يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم الراحمون يرحموهم الرحمن ارحموا اءهل الرض يرحمكم من فى السماء
Artinya :
Mengajarkan kepada kita abu bakar Ibn Abi syaibah dan musaddad al-ma’na berkata Abu Bakar telah mengajarkan Sufyan dari Umar bin Qabus Maula Lingabdillah dari Abdullah bin Umar sampai Abu Bakar kepada Nabi SAW; Yang merohmat kamu sekalian akan merahmat kamu yaitu allah swt, harus saling menyayangi terhadap ahli bumi maka akan merahmat kepada kamu dzat yang ada dilangit
Dalam kata “ ارحموا” menyatakan bahwa kita harus menyayangi terhadap segala apa yang ada dimuka bumi ini, baik terhadap manuisa, hewan, tumbuhan , dan lain-lain yang dikatergarikan sebagai makhluk yang ada dimuka bumi ini.
Manusia mengekplotasi alam sekitarnya maka dia sesungguhnya telah berbuat dholim pada dirinya dan tidak menyayangi terhadap alam, contoh, banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia, karena manusia telah mengekplotasi alam dengan menebang pohon yang tidak memperhatikan keseimbangan alam dalam artian manusia tidak memakai etika tetang tata cara pemakaian sumberdaya alam.
Untuk menciptakan tatanan social yang tentram dan yaman bagi semuanya manusia dituntuk untuk menjaga lisan, tangan, darah dan hartanya seperti hadis rasullah
حد ثنا قتيبة حد ثنا الليث عن ابن عجلان القعقاع بن حكيم عن ابي صالح عن ابى هريرة قال قال رسول الله عليه وسلم المسلمو من سلم المسلمون من لسنانه ويده والمؤمن من امنه الناس على دمائهم واموالهم
Artinya : telah menagajarkan Kutaibah telah mengajarkan al-Laitsu dari ibnu A’jlan dari Qa’qa’i bin Hakim dari Abi Sholih dari Abi Khurairah berkata Abu Khurairah berkata nabi saw; yang disebut orang muslim adalah orang yagn bisa menjaga lisan dan tangannya dan yang disebut orang mu’min adalah orang yang menjaga darah-darah manusia dan harta-hartanya
حدثنا عبدالرحمن حدثنا شعبة عن سعيد بن ابي بردة عن ابيه عن جده انرسول الله صلى الله عليه وسلم قال على كل مسلم صدقة قال افرايت ان لم يجد قال يعمل بيده فينفع نفسه وتصدق قال افرايت ان لم يستطع ان يفعل قال يعن ذا الحاجة الملهوف قال افرايت ان لم يفعل قال ياء مر بلاخير او بالعدل افرايت ان لم يستطع ان يفعل قال يمسك عن الشر فانه له صد قة
Artinya : mengajrakan Abdurrahman mengajarkan Syu’bah dari Sya’id bin abi Burdah dari ayahnya dari kakekeknya  bahwasannya Rasulallah saw  berkata; setiap orang muslim itu sodaqah, berbicara rasul apakah kamu tidak tahu kalau tidak menjumpai, maka berkata rasul beramal dengan tangan mencari manfaat  terhadap dirinya sadaqah , apa kamu  tidak mengetahui jikau tidak mapu untuk mengerjakannya maka rasul berkata tentukan kebutuhan yang dianiyaya, berkata rasul apa kamu tidak mengetahui  kalau tidak mengerjakan itu berkata rasul, memerintah terhadap kebaikan atau terhadap keadilan, jikalau tidak mampu untuk mengerjakannya maka berhentilah kamu dari berbuat kejelekan maka itu sudah merupakan sadaqah buat kamu.

Jumat, 07 Oktober 2016

MANUSIA MAKHLUK OTONOM

Sebagai makhluk otonom, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap, dengan kata lain, ia adalah makhluk yang mandiri. Secara etimologi, Otonomi berasal dari bahasa Yunani “autos” yang artinya sendiri, dan “nomos” yang berarti hukum atau aturan, jadi pengertian otonomi adalah pengundangan sendiri. Otonom berarti berdiri sendiri atau mandiri. Jadi setiap orang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri. Ia harus dapat menjadi tuan atas diri. Berbicara mengenai manusia bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana, karena manusia banyak memiliki keunikan. Keunikan tersebut dinyatakan sebagai kodrat manusia. Manusia sulit dipahami dan dimengerti secara menyeluruh tetapi manusia mempunyai banyak kekuatan-kekuatan spiritual yang mendorong seseorang mampu bekerja dan mengembangkan pribadinya secara mandiri. Arti otonom adalah mandiri dalam menentukan kehendaknya, menentukan sendiri setiap perbuatannya dalam pencapaian kehendaknya.
Allah telah memberikan akal budi yang membuat manusia tahu apa yang harus dilakukannya dan mengapa harus melakukannya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu membedakan hal baik dan buruk dan membuat keputusan berdasarkan suara hatinya dan mampu bersikap kritis terhadap berbagai pilihan hidup. Manusia adalah makhluk hidup, yang mampu memberdayakan akal budinya, maka manusia mempunyai berbagai kemampuan, yakni mampu berpikir, berkreasi, berinovasi, memberdayakan kekuatannya sehingga manusia tidak pernah berhenti
Allah memberi kebebasan kepada manusia. Meskipun kebenaran itu dari Allah, namun Allah tidak pernah memaksa manusia untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang ingin beriman, maka imanlah. Siapa yang ingin kafir, maka kafirlah.
Pun demikian, Allah menciptakan manusia menurut fitrah beragama tauhid. Semua bayi yang lahir, mempunyai kesiapan untuk beragama Islam. Ketika ia besar, ia menjadi kafir atau memeluk agama selain Islam, maka itu adalah karena didikan dari orang tuanya.
Karena sesungguhnya, Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Jika ia sampai masuk ke neraka, itu tak lain karena ia sendirilah yang telah menganiaya dirinya sendiri.
Allah berfirman, “Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih.” (QS Al Insyiqaaq 24)

Adanya perbedaan agama di dunia ini, iman atau kafir, itu adalah pilihan orang masing-masing. Di dunia ini, Allah tidak membedakan antara orang yang beriman dengan orang yang kafir dalam hal memberi rezeki.
Pernah Nabi Ibrahim As berdoa sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS Al Baqarah 126)
Banyak kita dapati, orang-orang kafir yang sukses dalam urusannya dengan duniawi. Perlu kita ketahui, bahwa Allah-lah yang telah menyediakan rezeki itu kepada semua manusia, entah ia kafir atau beriman. Jangankan manusia, pada binatang melata pun Allah juga memberi rezeki itu.
Kita sebagai orang yang beriman, tidak boleh terpedaya dengan kesuksesan orang kafir di dunia ini. Karena Allah berfirman, “Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS Ali Imran 197)

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK IBADAT



Tugas manusia di dunia adalah ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduun[i]” - Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS 51 : 56]. Meskipun merupakan tugas, akan tetapi pelaksanaan ibadah bukan untuk Allah: “Maa ‘uriydu minhum mir-rizkin wa maa uriydu an yuth’imuun[i]” - Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. [QS 51 : 57], karena Allah tidak memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Ibadah berasal dari kata 'abada yang arti bebasnya menyembah atau mengabdi merupakan bentuk penghambaan manusia sebagai makhluk kepada Allah Sang Kholiq [Pencipta]. Karena penyembahan atau pemujaan merupakan fitrah [naluri] manusia, maka ibadah kepada Allah membebaskan manusia dari pemujaan yang salah dan tidak dikehendaki oleh Allah. Sehingga yang mengabdi [manusia] disebut Abid, sedangkan yang disembah disebut Ma’bud.
Ibadah memiliki aspek yang sangat luas. Sehingga segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara lahir maupun batin, semuanya merupakan [dan dapat disebut dengan] ibadah. Sedangkan lawan dari ibadah adalah ma'syiat.
Kita sering tertipu sehingga selalu dirundung dalam keraguan, kebingungan serta kegalauan di saat menghadapi tuntutan agar memelihara “alat-Rezeki” yang telah diamanahkan oleh Allah kepada kita sebagai hamba-Nya secara KASAB untuk dijadikan sebagai “Ladangnya Akhirat” yang paling subur. 
Selama kita masih ditempatkan oleh Allah dalam maqom [derajat] KASAB, belum sampai pada maqom TAJRID ya jalan saja secara harmoni setiap kegiatan "ibadah", baik yang khusus [ritual] maupun yang umum tanpa harus selalu menciptakan dikotomi yang membingungkan. 
Karena sebenarnya yang lebih penting untuk diperhatikan adalah masalah Ibadah Mu’amalah, karena ternyata malah bentuk ibadah ini justru dijadikan sebagai tolok ukur dari kualitas nilai IHSAN dari setiap Ibadah Khusus [Ritual] yang telah kita lakukan selama ini.

Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi.

Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Sebagai agama yang haq, Islam menegaskan bahwa posisi manusia di dunia ini adalah sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Posisi ini menunjukan bahwa salah satu tujuan hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah. Yang dimaksud dengan mengabdi kepada Allah adalah taat dan patuh terhadap seluruh perintah Allah, dengan cara menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Dalam hal ini, Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa tujuan hidup manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat ayat 56 dan QS. Al-Bayyinah ayat 5).
Makan beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (mentaati segala perintah dan menjauhi larangan Allah) merupakan makna ibdah secara umum. Dalam tataran praktis, ibadah secara umum dapat diimplementasikan dalam setiap aktivitas yang diniatkan untuk menggapai keridlaan-Nya, seperti bekerja secara professional, mendidik anak, berdakwah dan lain sebagainya. Dengan demikian, misi hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan dalam segala aktivitas yang bertujuan mencari ridla Allah (mardlotillah).
Sedangkan secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai ketaatan terhadap hukum syara’ yang mengatur hubungan vertical-transendental (manusia dengan Allah). Hukum syara’ ini selalu berkaitan dengan amal manusia yang diorientasikan untuk menjalankan kewajiban ‘ubudiyah manusia, seperti menunaikan ibadah shalat, menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi haji dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik, sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini (Syirik).

SUNNATULLAH

Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabbyang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks kemasyarakatan.

Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak dapat dialihkan dan diubah oleh siapapun. Sunnatullah ini sudah berlaku pada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi.

Ada tiga sifat utama sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an yang dapat ditemukan oleh ahli ilmu pengetahuan dalam penelitian. Ketiga sifat itu adalah : 1) Pasti,  2) Tetap, dan  3) Objektif


Sifat sunnatullah pertama adalah ketetapan, ketentuan, atau kepastian, sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an berikut ini :



Q.S, Al-Furqon (25): 2, yang artinya :



“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”



Q.S At-Thalaq (65) : 3 yang artinya :



Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (kepastian) bagi tiap sesuatu”



Sifat sunnatullah yang pasti, tentu akan menjamin dan memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana. Seseorang yang memanfaatkan sunnatullah dalam merencanakan satu pekerjaan yang besar, tidak perlu ragu akan ketetapan perhitungannya dan setiap orang yang mengikuti dengan cermat ketentuan-ketentuan yang sudah pasti itu bisa melihat hasil pekerjaan yang dilakukannya. Karena itu pula, keberhasilan suatu pekerjaan (usaha atau amal) dapat diperkirakan lebih dahulu. Jika dalam pelaksanaannya suatu rencana atau pekerjaan orang itu kurang atau tidak berhasil, dapat dipastikan perhitungannya yang salah bukan kepastian atau ketentuan yang terdapat dalam sunnatullah. Manusia yang salah membuat suatu perhitungan atau perencanaan dengan mudah dapat menelusuri kesalahan perhitungan dalam perencanaannya.



Sifat sunnatullah kedua yaitu tetap, tidak berubah-ubah.



Sifat ini diungkapkan dalam Al-Quran sebagai berikut :



Q.S  Al-Isro (17): 77, yang artinya :



“Dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”. Sifat itu selalu terbukti dalam praktek, sehingga seseorang perencana dapat menghindari kerugian yang mungkin terjadi kalau rencana dilaksanankan. Dengan sifat sunnatullah yang tidak berubah-ubah itu seorang ilmuan dapat memperkirakan gejala alam yang terjadi dan memanfaatkan gejala alam itu. Karena itu seorang ilmuan dengan mudah memahami gejala alam yang satu dikaitkan dengan gejala alam yang lain yang senantiasa mempunyai hubungan yang konsisten.



Sifat sunnatullah yang ketiga adalah obyektif. Sifat ini tergambar pada firman Allah sebagai berikut :



Q.S. Al-Anbiya (21): 105, yang artinya :



bahwasanya dunia akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”



Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya :



Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada oleh mereka sendiri”.



Saleh, artinya baik atau benar. Orang yang baik dan benar adalah “orang yang bekerja menurut sunnatullah”. Jadi sunnatullah-lah yang menjadi ukuran kebaikan dan kebenaran itu. Orang yang berkarya sesuai atau menurut sunnatullah adalah orang yang “saleh“ atau orang yang baik dan benar. Kesalehan yang dikarenakan telah menepati sunnatullah merupakan kesalehan umum (universal). Kesalehan universal ini sebagai sifat objektif secara / keilmuan, yang biasanya sangat signifikan dijumpai dikalangan para pengembang IPTEK dan para intelektual lainnya. Mereka amat disiplin untuk mengikuti logika cerdas dan sehat dibantu dengan upaya pembuktiaan hipotesis yaitu penelitian (istiqra). Dengan demikian kebenaran yang terdapat dalam sunnatullah adalah kebenaran objektif, berlaku bagi siapa saja dan dimana saja. Untuk memperoleh predikat manusia saleh sekedar mentaati sunnatullah, berlaku pada semua manusia tidak terbatas bagi kaum agamis semata sebab, bagi yang tidak berkarya sebagaimana menurut keharusan aturan-aturan sunnatullah, seperti pemalas, tidak menempati prinsip kerja yang efektif-efisien-produktif dan lain-lain, tidak akan mendapat keberuntungan.



Dengan demikian sunnatullah itu berlaku objektif, karena tidak dipandang saleh bagi orang islam (misalnya) yang ingin kaya tapi pemalas. Karena orang islam tersebut tidak saleh terhadap sunnatullah.